Oleh : @ernawatililys
Allaahumma yaafaarijal hammi, kaasyifal gammi mujiiba da'aatil mudtarrina rahmaanad dunya wal aakhirati wa rahimahumaa anta tarhamunii farhamnii birahmatin tugniinii 'an rahmatin man siwaak.
"Ya Allah, Dzat yang menghilangkan kesusahan dan keprihatinan, Dzat yang mengabulkan doa orang yang dalam keadaan yang memaksa, Dzat yang Maha Belas Kasih, baik di dunia maupun di akhirat, Dzat Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat. Engkaulah yang memberi belas kasih kepadaku, maka belas kasihilah aku dengan rahmat yang dapat menghindarkan aku dari belas kasih selain-Mu."
Kubaca ratusan kali doa ini, doa memohon agar dijauhkan dari kesedihan dan belas kasih kepada Allah. Tak henti bibir ini membacanya, seperti sudah terekam dalam otakku untuk memutar terus doa ini. Aku wanita yang dirundung duka. Masih dalam lautan luka yang harus kulewati. Berada dalam kota buta, termenung da¬lam senja sunyi yang bernyanyi lagu rintihan hati ditinggal mati.
Berlatar langit merah, gadis berhijab hitam itu tertunduk. Matanya merah seperti terbakar senja yang datang menyapa. Menundukkan kepalanya seakan bumi sedang berada di pundaknya. Tertunduk dan kulihat butir-butir bening mengalir di pipinya yang mulus. Wanita yang masih muda, kuat, dan cukup cantik. Namun, apa yang membuatnya tertunduk tak mau menatap langit, dan meneteskan butiran bening?
Jarum jam sudah berdiri vertikal, berarti tiga jam sudah ia menangis, dan masih menundukkan kepalanya. Suara azan berkumandang, memecahkan kesunyian kota yang baru pertama kali aku datangi.
Kuikuti langkah wanita itu. Sepertinya ia sebaya denganku, namun beban hidupnya tampak amat berat. Aku tak tahu kenapa ia begitu tak bersemangat; apakah ia seperti aku yang baru saja mengafani mayat suamiku. Adakah kesedihan yang melebihi kesedihanku ini?
Airmata itu melebur satu dengan air wudhu. Kuikuti langkahnya ke masjid, dan sujud mencium sajadah bersimpuh di hadapanNya. Setelah selesai berjamaah aku meninggalkan wanita yang tak kukenal itu, mencari penginapan atau berjaga hingga pagi. Entah siapa yang harus dikasihani, aku yang terlunta-lunta di negeri para syuhada atau wanita muda ini, tuan di rumahnya sendiri yang sedihnya tak bisa ditutupi lagi.
Aku hanyalah musafir. Walau sesama Muslim itu saudara, bukan berarti aku bisa mencampuri urusan setiap orang. Dan wanita itu sepertinya sudah mengerti ke mana menyerahkan segala kesedihannya. Butiran bening yang selalu mengaliri wajah putihnya, semangat hidup yang hilang, Lirih hati ini melihat duka yang tiada kutahu itu kenapa. Ingin kupeluk dan meringankan sedikit beban yang ia bawa. Kuamati dia, bulir bening yang mengiringi setiap doanya, setidaknya dia menyerahkan segala kepedihannya kepada Yang Maha kuat. Yaa Rahman, berilah kekuatan kepada perempuan itu.
Aku berlalu dan meninggalkannya.
Kulangkahkan kakiku sepuluh meter dari masjid. Memasuki perkampungan yang tidak jauh berbeda dengan kuburan. Begitu sepi dan tercium bau busuk yang menyengat. Reruntuhan gedung seakan menjawab kebiadaban Israel menelanjangi Palestine, begitu membabi buta. Kampung Bustan, perkampungan di Kota Lama Yerusalem, dihancurkan Israel untuk dijadikan Kota David dan kawasan Telaga Suci.
Setelah lelah berjalan tanpa tujuan, dengan selimut kain yang kulilitkan di seluruh tubuhku, aku akan kembali lagi ke masjid. Atau tidur dalam reruntuhan gedung. Yang terpenting tidak tercium anjing pelacak Israel yang lapar pada daging Muslim Palestina. Kunaikkan kain selimut tebal itu, menyatu dengan kerudungku.
Ribuan kilo aku berjalan, namun tiada tempat yang dapat kujadikan tempat melepas lelahku. Apa aku harus menangis, terlunta-lunta tiada tujuan. Bau busuk yang amat sangat menusuk. Angin malam ini tak begitu bersahabat, membawa sapuan pasir yang membuatku menghentikan perjalanan malam.
Aku kembali ke jalan awal, menuju masjid, menuju rumah Allah. Kalaupun bertemu pasukan Yahudi, dan harus mati malam ini, aku ikhlas. Aku berjalan di bawah terang rembulan, kuseret langkahku perlahan. Sampai akhirnya aku bertemu sosok wanita muda yang kulihat di ujung senja tadi. Ya, wanita yang menundukkan pandangannya dan mengalirkan butiran bening di pipinya. Kulihat kini ia lebih tegar dari sebelumnya.
Pegangan tangannya padaku begitu kuat, hingga aku sempat tak percaya ia wanita yang menangis di ujung senja tadi. Langkahnya begitu cepat, membawa aku dalam kebimbangan dan menyisakan puluhan tanya dalam hatiku. Mau dibawa ke mana aku ini, dan kenapa dia begitu tergesa-gesa? Jalannya begitu cepat sampai baju kurung hitam yang dikenakannya menyapu tanah.
Dug... dug... dug...
Jantungku berdegup kencang. Lelah kakiku, keringat dingin mulai mengalir di tubuhku, napasku pun berpacu, terengah-engah. Aku butuh berhenti sejenak dan menghirup oksigen. Wanita berhijab gelap itu hanya menatapku. Dia tahu aku begitu lelah, namun ada sesuatu yang tidak mungkin untuk aku dan dia berlama di alam liar ini. Aku hanya bisa menatap dua bola matanya, dan dari mata itu aku tahu dia ingin menolongku.
Tanganku sudah berkeringat, namun dia tak juga melepaskan pegangannya. Sampai aku mencium bumiku, dan ia pun menghentikan langkahnya. Membantuku berdiri dan mengajakku terus berlari, mengejar sesuatu yang belum kuketahui. Sampai di belokan jalan, kulihat segerombolan tentara Yahudi bersama anjing-anjing pelacaknya sedang berkeliaran. Mencari mangsa kaum Muslimin yang akan mereka siksa seperti mainan, atau membunuhnya de¬ngan kejam bak binatang.
Lelah raga ini hilang, jiwaku seakan datang membawa setumpuk amarah bercampur benci yang amat sangat besar kepada musuh yang membunuh suamiku kemarin. Manusia-manusia itu sama seperti anjing-anjing yang dibawanya: haus darah.
Wanita di sampingku merasakan kemarahanku. Dibawanya aku terus berlari menembus malam, langkahku mengikuti langkah wanita itu. Pegangannya semakin kuat, membuatku ingin terus berlari, dan meneriakkan kesedihanku ini dalam gelap. Sampailah aku pada suatu tempat yang tak bisa kukatakan, apalagi kudetailkan keadaan sekitarnya. Membuatku terdiam, dan menjawab semua pertanyaan tentang sejuta sedih wanita di hadapanku ini.
Masih dipegangnya tanganku, ternyata dalam tunduknya tadi di ujung senja, dia mengamati keberadaanku. Dia membawaku ke rumah sekaligus kuburan keluarganya. Bola mataku seakan terbakar, begitu pedih mataku, apa yang bisa kukatakan lagi.
Kulihat dalam ruang tamu itu terdapat empat mayat yang semuanya tersenyum. Mayat pertama itu ayahnya, meninggal dengan keadaan badan tak sempurna lagi. Di samping kanannya ada mayat wanita separuh baya yang di tangannya masih mengepal tangan mungil dari bayi yang setengah tubuhnya sudah dimakan anjing-anjing Israel. Dan sesosok mayat tanpa kepala di pojok ruangan tidak lain adik dari wanita itu. Adiknya ini penghafal Al-Qur'an, dan ia menjadi incaran manusia-manusia biadab.
"Apa salah mereka?" Aku bertanya sambil berupaya menggendong mayat bayi itu.
"Mereka Muslim! Mereka pejuang Allah dan mereka warga Palestina." Lirih suara wanita itu.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Innaa lillaah..." suaraku habis.
Ya Allah, harus berapa mayat lagi agar kami bebas dari perang darah ini. Astaghfirullaah al-azhiim... kenapa aku begitu tak berdaya, sehingga mengeluarkan kata-kata yang tak layak diucapkan seorang yang memiliki keyakinan iman?
"Astaghfirullaah... Astaghfirullaah..."
"Laa haula wa laa quwwata illaa billaah..."
Aku harus merelakan suamiku bertugas mengobati luka pe¬juang Palestina setelah akad nikah kami selesai diucapkan di Darb alAhmar1 dua pekan lalu. Niat tulus suamiku adalah mengobati luka para mujahid, sekaligus bergabung dalam barisan mereka. Aku pun akan mengikuti jejaknya, sebagai dokter bagi para pejuang-pejuang Allah. Bagiku, ini seperti kado pernikahan kami dari-Nya. Aku serasa akan berbulan madu di negeri wangi surga ini.
Semua berjalan tanpa halangan berarti sampai insiden ashar kemarin terjadi. Hari itu terjadi bentrokan antara warga Palestina dan kelompok ekstremis Yahudi yang dibekingi tentara Israel. Warga Palestina berupaya melawan keras ketika Yahudi-Yahudi itu merampasi rumah-rumah penduduk dalam penyerangan membabi buta. Saat berada di tengah kerumuman massa Palestina itulah, jantung suamiku tertembus peluru tentara Israel yang siap membunuh siapa pun yang menghalangi rencana jahatnya. Akhirnya, kujemput tepat ketika ia sedang sakaratul maut dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Suamiku tersayang, kutemukan cinta di wajahnya. Pejuang sejati. Yang semangatnya tak pernah mati. Aku adalah pengantin Al-Quds yang selamanya akan menemani suamiku di sini hingga akhirnya aku bertemu dengannya di surga.
Aku terkesiap. Terjaga dari memori yang telah meninggalkan duka. Ya Allah, ampuni hamba ini. Seharusnya aku lebih kuat dari wanita yang membawaku ke sini ini. Wanita yang menangis di ujung senja, dan berdoa dengan diiringi bulir bening di pipinya. Aku harus tegar dan melanjutkan perjuangan suamiku, bukan tersungkur, dan menangisi keadaan.
Aku kembali menatap wanita itu. Kini kumengerti, kesedihan-nya begitu amat sangat. la ditinggal oleh orang-orang yang dicintai di hadapannya. Bila ini terjadi padaku, mungkin aku sudah tidak sanggup lagi hidup di Bumi.
Wanita berhijab hitam itu memelukku. Dia akhirnya bercerita, menyebut satu nama: Muhammad Asad, seorang pejuang perlawanan Palestina dari Bataliyon Al-Quds, sayap militer Jihad islami. Hari ini harusnya hari bahagia ia dan Asad. Kemarin pagi mereka baru saja menikah. Tapi menjelang persuaan malam pertama, agen-agen Shin Bet menyeruak masuk mendobrak jendela. Dan terjadilah malam duka. Keluarganya dibantai terlebih dulu, sebelum dirinya diperkosa oleh seorang anggota Shin Bet terlaknat itu di hadapan suaminya. Setelah penistaan itu, Asad ditembaki namun jasadnya dibawa entah ke mana.
"Ya Ukhti..." kupeluk dia, pengantin Al-Quds yang hatinya masih terkoyak dalam.
"Apalagi yang harus kulakukan..." lirih suara wanita itu.
"Berdoa... berdoa... dan bangkit...."
"Aku bukan istri Fir'aun yang begitu hebat melawan duka."
"Bukan duka yang harus dihadapi, tapi luka hati yang harus diobati."
"Aku tak mau hidup lagi, tugasku hanya menguburkan mayat-mayat keluargaku...."
"Mau bunuh diri? Apa itu akan menghilangkan lukamu?" "Tak peduli...."
"Untuk apa kau ajak aku berlari ke sini? Hanya untuk melihatmu bunuh diri?"
"Aku hanya ingin menyelamatkanmu, dari pasukan Yahudi di luar tadi."
"Lebih baik mati dalam jihad, daripada harus melihat orang bunuh diri."
"Aku bukan wanita kuat..." tumpah airmata di pipinya.
"Bisa! Semua pasti bisa dilewati, kita berdua memulai hari esok dengan kehidupan baru."
"Diriku kotor!"
"Lalu bunuh diri bukankah lebih kotor?!"
"Aku wanita yang diperk***, suamiku dibunuh, keluargaku di...." suaranya habis, isakan menghentikan pita suaranya.
Hujan airmata pun tak terbendung lagi. Inilah puncak saat sesak ditumpahkan. Isakan kepedihan dicurahkan. Larut dalam suasana yang begitu amat menyesakkan napas. Bukan aku dan wanita berhijab hitam ini saja yang mengalami kejadian pahit ini. Mungkin sudah puluhan atau ratusan kali ini terjadi pengantin yang menangisi kematian suaminya.
Wanita yang menundukkan kepalanya di ujung senja dan mengalirkan bulir bening di pipinya itu, hendak bunuh diri. Namun, ia dipaksa untuk berpikir ulang siapa yang akan menguburkan keluarganya, tetangganya, dan mencari mayat suaminya. Aku pengantin yang bisa tersenyum melihat suamiku meninggal sebagai syahid kemarin siang. Namun berapa pengantin Al-Quds yang tak bisa melihat wajah suaminya seperti wanita berhijab hitam ini.
Resensi :
Terbit Tahun : 2011
Nama Penerbit : Pro-U Media
Penulis Cerpen : @nenglisojung/ @ernawatililys
Royalti buku ini semuanya disumbangkan untuk Palestina. Terimakasih untuk para pembaca yang telah membeli buku ini.