Terima kasih untuk para pembaca yang telah membeli buku pengantin-pengantin Al-Quds karena hasil penjualan 100% untuk palestina.
Dan terima kasih untuk yang telah membuat resensi buku ini :
http://www.dakwatuna.com/2012/05/20535/pengantin-pengantin-al-quds/#ixzz1vVvtLdXc
Judul Buku : Pengantin-Pengantin Al Quds
Penulis : Sakti Wibowo dkk
Cetakan : I, 2011
Penerbit : Proumedia – Yogyakarta
Tebal : 182 Halaman
ISBN : 978-602-8-941-020
Pengantin tanpa Malam Pertama
dakwatuna.com –
Lebih dari 60 tahun, Israel (illegal) resmi menjajah Palestina, negeri suci warisan para nabi. Tanah wakaf kaum muslimin yang menjadi saksi peristiwa Isra’ Mi’raj itu, hingga kini masih saja dikangkangi oleh bangsa kera tak berperikemanusiaan itu. Tak tanggung-tanggung., Yahudi yang berwatak Zionis itu seakan berkehendak membumihanguskan Palestina dan warganya, tanpa ampun.
Mereka tidak pandang bulu dalam membasmi warga Palestina. Bukan hanya militan, melainkan warga sipil yang tak berdosa sekalipun ikut dijadikan sasaran. Mulai dari anak-anak, ibu mengandung, dewasa, hingga orang yang sudah jompo sekalipun, semuanya disamakan. Asal labelnya Palestina, maka perlakuannya sama: Bunuh!
Dunia internasional yang dikomandoi oleh Amerika pun diam.
Dalih Hak Asasi Manusia yang selama ini mereka kumandangkan nyaris tak bergema. Mereka bisu. Tidak berkutik. Bahkan mereka didapati membantu Israel dalam pembantaian ini. Sungguh biadab! Bahkan, Sidang Umum PBB yang sempat disinyalir bakal menjadi peluang untuk merdekanya Palestina ini, NIHIL! Hingga detik ini, Palestina yang kita cintai masih merana, dijajah oleh iblis-iblis berwajah manusia. Kondisi memprihatinkan inilah yang diangkat oleh 20 Cerpenis dari seluruh Indonesia, dalam sebuah buku Barokah bertajuk Pengantin-Pengantin Al Quds. Buku setebal 182 halaman ini mengajak kita untuk mempelajari sejarah konflik Palestina – Israel. Keberagaman penulis dari berbagai latar pendidikan dan daerah yang berbeda membuat buku ini semakin sempurna. Sajian renyahnya sangat mudah dinikmati, sekalipun ketika kita membacanya sembari menyeruput kopi hangat di pagi hari. Buku ini memuat 19 cerpen dan 1 puisi pamungkas berjudul Cemburu pada Palestina. Setelah menikmati sajian penuh gizi di dalamnya, sangatlah layak jika kemudian kita benar-benar mencemburui Palestina.
Di negeri kita, banyak sekali pertumpahan darah. Mulai dari tawuran pelajar, perkelahian suku, perang suporter sepak bola, dan seterusnya. Bandingkan dengan Palestina? Di sana semua warga merindu mati. Bukan sekedar mati, melainkan mati dengan nilai tertinggi sebagai Pahlawan. Mereka menumpahkan darah untuk tanah air, kehormatan dan agama mereka. Sangat mulia, bukan? Dalam hal lain, kita disajikan sebuah fenomena memiriskan, Indonesia yang kita cintai dipenuhi dengan raport merah seputar hubungan seksual. Hamil sebelum nikah, pergaulan bebas yang berujung pada pengguguran janin, perceraian hingga aneka macam perselingkuhan dengan berbagai macam jenisnya. Sementara di negeri yang pernah dimerdekakan oleh Umar bin Khaththab itu, menikah merupakan sebuah prestasi suci.
Bahkan, kerap kali kita jumpai pernikahan tanpa malam pertama. Setelah akad, suami dan istri harus meregang nyawa lantaran bombardir dan serangan mendadak dari Zionis laknatullah. Dan mereka pun, insya Allah berbulan madu di surgaNya. Simak saja penuturan salah satu penulis, Neng Lisojung, dalam buku ini, “Wanita berhijab itu memelukku. Dia akhirnya bercerita, menyebut satu nama: Muhammad Asad, seorang pejuang perlawanan Palestina dari Bataliyon al Quds, sayap militer Jihad Islami. Hari ini harusnya hari bahagianya bersama Asad. Kemarin pagi mereka baru saja menikah. Tapi menjelang persuaan malam pertama, agen-agen Shin Bet menyeruak masuk mendobrak jendela. Dan terjadilah malam duka. Keluarganya dibantai terlebih dahulu, sebelum dirinya diperkosa oleh seorang anggota Shin Bet terlaknat itu di hadapan suaminya. Setelah penistaan itu, Asad ditembaki namun jasadnya dibawa entah ke mana.” Penulis yang kini tinggal di Bekasi ini pun melanjutkan kisahnya, “Hujan air mata pun tak terbendung lagi. Inilah puncak saat sesak ditumpahkan. Isakan kepedihan dicurahkan. Larut dalam suasana yang begitu amat menyesakkan nafas. Bukan aku dan wanita berhijab hitam ini saja yang mengalami kejadian pahit itu. Mungkin sudah puluhan atau ratusan kali terjadi pengantin yang menangisi kematian suaminya.” Memilukan bukan? Apa yang kita rasakan jika hal itu terjadi pada keluarga kita? Ibu kita? Saudara kita? Atau, anak kandung kita? Dan, masihkah kita berkata lantang, “Mengapa harus repot mengurus Palestina? Sementara negeri ini tengah berada dalam keterpurukan tak berujung?” Naïf jika itu yang terjadi pada kita yang mengaku sebagai makhluk bernama manusia. Akhirnya, buku ini sangat layak untuk dijadikan alternatif bacaan penggugah semangat perjuangan.
Di samping cerpen-cerpen yang sarat dengan muatan perjuangan membela tanah air dan agama, royalti dari penjualan buku ini sepenuhnya akan disumbangkan ke Palestina melalui Sahabat Al Aqsha. Sehingga kita bisa mendapatkan dua keutamaan ketika membeli dan membaca buku ini: ilmu dan pahala beramal. Semoga, negeri ini tak hanya cemburu, melainkan segera bangkit dengan mencontoh semangat seluruh warga Palestina yang tak pernah gentar dengan peluru dan bom, demi mempertahankan bangsa dan juga agama. Semoga. Sumber:
Dalih Hak Asasi Manusia yang selama ini mereka kumandangkan nyaris tak bergema. Mereka bisu. Tidak berkutik. Bahkan mereka didapati membantu Israel dalam pembantaian ini. Sungguh biadab! Bahkan, Sidang Umum PBB yang sempat disinyalir bakal menjadi peluang untuk merdekanya Palestina ini, NIHIL! Hingga detik ini, Palestina yang kita cintai masih merana, dijajah oleh iblis-iblis berwajah manusia. Kondisi memprihatinkan inilah yang diangkat oleh 20 Cerpenis dari seluruh Indonesia, dalam sebuah buku Barokah bertajuk Pengantin-Pengantin Al Quds. Buku setebal 182 halaman ini mengajak kita untuk mempelajari sejarah konflik Palestina – Israel. Keberagaman penulis dari berbagai latar pendidikan dan daerah yang berbeda membuat buku ini semakin sempurna. Sajian renyahnya sangat mudah dinikmati, sekalipun ketika kita membacanya sembari menyeruput kopi hangat di pagi hari. Buku ini memuat 19 cerpen dan 1 puisi pamungkas berjudul Cemburu pada Palestina. Setelah menikmati sajian penuh gizi di dalamnya, sangatlah layak jika kemudian kita benar-benar mencemburui Palestina.
Di negeri kita, banyak sekali pertumpahan darah. Mulai dari tawuran pelajar, perkelahian suku, perang suporter sepak bola, dan seterusnya. Bandingkan dengan Palestina? Di sana semua warga merindu mati. Bukan sekedar mati, melainkan mati dengan nilai tertinggi sebagai Pahlawan. Mereka menumpahkan darah untuk tanah air, kehormatan dan agama mereka. Sangat mulia, bukan? Dalam hal lain, kita disajikan sebuah fenomena memiriskan, Indonesia yang kita cintai dipenuhi dengan raport merah seputar hubungan seksual. Hamil sebelum nikah, pergaulan bebas yang berujung pada pengguguran janin, perceraian hingga aneka macam perselingkuhan dengan berbagai macam jenisnya. Sementara di negeri yang pernah dimerdekakan oleh Umar bin Khaththab itu, menikah merupakan sebuah prestasi suci.
Bahkan, kerap kali kita jumpai pernikahan tanpa malam pertama. Setelah akad, suami dan istri harus meregang nyawa lantaran bombardir dan serangan mendadak dari Zionis laknatullah. Dan mereka pun, insya Allah berbulan madu di surgaNya. Simak saja penuturan salah satu penulis, Neng Lisojung, dalam buku ini, “Wanita berhijab itu memelukku. Dia akhirnya bercerita, menyebut satu nama: Muhammad Asad, seorang pejuang perlawanan Palestina dari Bataliyon al Quds, sayap militer Jihad Islami. Hari ini harusnya hari bahagianya bersama Asad. Kemarin pagi mereka baru saja menikah. Tapi menjelang persuaan malam pertama, agen-agen Shin Bet menyeruak masuk mendobrak jendela. Dan terjadilah malam duka. Keluarganya dibantai terlebih dahulu, sebelum dirinya diperkosa oleh seorang anggota Shin Bet terlaknat itu di hadapan suaminya. Setelah penistaan itu, Asad ditembaki namun jasadnya dibawa entah ke mana.” Penulis yang kini tinggal di Bekasi ini pun melanjutkan kisahnya, “Hujan air mata pun tak terbendung lagi. Inilah puncak saat sesak ditumpahkan. Isakan kepedihan dicurahkan. Larut dalam suasana yang begitu amat menyesakkan nafas. Bukan aku dan wanita berhijab hitam ini saja yang mengalami kejadian pahit itu. Mungkin sudah puluhan atau ratusan kali terjadi pengantin yang menangisi kematian suaminya.” Memilukan bukan? Apa yang kita rasakan jika hal itu terjadi pada keluarga kita? Ibu kita? Saudara kita? Atau, anak kandung kita? Dan, masihkah kita berkata lantang, “Mengapa harus repot mengurus Palestina? Sementara negeri ini tengah berada dalam keterpurukan tak berujung?” Naïf jika itu yang terjadi pada kita yang mengaku sebagai makhluk bernama manusia. Akhirnya, buku ini sangat layak untuk dijadikan alternatif bacaan penggugah semangat perjuangan.
Di samping cerpen-cerpen yang sarat dengan muatan perjuangan membela tanah air dan agama, royalti dari penjualan buku ini sepenuhnya akan disumbangkan ke Palestina melalui Sahabat Al Aqsha. Sehingga kita bisa mendapatkan dua keutamaan ketika membeli dan membaca buku ini: ilmu dan pahala beramal. Semoga, negeri ini tak hanya cemburu, melainkan segera bangkit dengan mencontoh semangat seluruh warga Palestina yang tak pernah gentar dengan peluru dan bom, demi mempertahankan bangsa dan juga agama. Semoga. Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2012/05/20535/pengantin-pengantin-al-quds/#ixzz2Eszm3CoJ