Berjuta Rasa Kontraksi
Memasuki ruang bersalin bagiku bukan sekali dua kali, minggu ini saja sudah ketiga kalinya. Kehamilanku yang memasuki usia sembilan bulan satu minggu sering terjadi kontraksi yang bikin mules tidak tertahankan. Waktu aku sedang ke pasar dengan suami tercinta, tiba-tiba tidak bisa jalan, ibu-ibu dan penjual sayur semua bilang "mau lahiran Pak istrinya". Panik.Suamiku dengan gagahnya memapahku naik roda dua. Dengan lembut semua tikungan dilewatinya untuk membuatku nyaman. Lalu kubersandar di belakang tubuh suamiku sambil mengusap-usap perutku, sampai di rumah bersalin.
Gejala kontraksi perdana
Gleekkkk, mules nya hilang, pembukaan belum ada pula, di suruh pulang lagi setelah pemeriksaan dokter dan ternyata dibilang kontraksi palsu.
"Nak, kapan kamu melihat wajah ayah bundamu" Sambil elus-elus perutku. Kangen ingin sekali melihat wajahnya. Terkadang aku hanya bisa memandangi foto USG mu saja. Namun semakin rindu.
Seminggu telah berlalu, tanda-tanda melahirkan belum datang juga, semua sudah siaga. Tiba-tiba kamis pagi kejadian yang sama seperti seminggu yang lalu, dua kali bolak-balik ke rumah bersalin dan di bilang belum juga ada pembukaan. Akhirnya aku pun santai saja, toh menurutku pasti dede bayi di dalam juga ingin keluar, karena gerakannya setiap malam aktif, dan membuatku susah tidur.
Jumat pagi, setelah olah raga dengan suami, jalan pagi seperti biasa. Pernah jalan pagi sampai berpuluh-puluh kilometer bahkan sampai pasar yang biasa belanja bawa motor kini jalan kaki. Agar kau cepat lahir. Walau kaki pegal-pegal dan pinggang sakit.
Akhirnya aku mengantar suami berangkat kerja. Entah kali ini aku rindu atau firasat tak ingin jauh dari suami. Namun itu ku abaikan. walaupun aku kontraksi lagi pasti dibilang belum, makanya aku diam saja. Suamiku sudah berangkat kerja, aku hendak meluruskan kakiku yang pegal karena setiap pagi harus jalan. Tiba-tiba aku sudah tidak bisa bergerak, sakit dan mules jadi satu. aku yang ditemani ibuku, bilang bersabar hingga ada tanda lahiran saja, daripada bolak balik lagi lalu ditolak.
"Nak, kapan kamu melihat wajah ayah bundamu" Sambil elus-elus perutku. Kangen ingin sekali melihat wajahnya. Terkadang aku hanya bisa memandangi foto USG mu saja. Namun semakin rindu.
Seminggu telah berlalu, tanda-tanda melahirkan belum datang juga, semua sudah siaga. Tiba-tiba kamis pagi kejadian yang sama seperti seminggu yang lalu, dua kali bolak-balik ke rumah bersalin dan di bilang belum juga ada pembukaan. Akhirnya aku pun santai saja, toh menurutku pasti dede bayi di dalam juga ingin keluar, karena gerakannya setiap malam aktif, dan membuatku susah tidur.
Jumat pagi, setelah olah raga dengan suami, jalan pagi seperti biasa. Pernah jalan pagi sampai berpuluh-puluh kilometer bahkan sampai pasar yang biasa belanja bawa motor kini jalan kaki. Agar kau cepat lahir. Walau kaki pegal-pegal dan pinggang sakit.
Akhirnya aku mengantar suami berangkat kerja. Entah kali ini aku rindu atau firasat tak ingin jauh dari suami. Namun itu ku abaikan. walaupun aku kontraksi lagi pasti dibilang belum, makanya aku diam saja. Suamiku sudah berangkat kerja, aku hendak meluruskan kakiku yang pegal karena setiap pagi harus jalan. Tiba-tiba aku sudah tidak bisa bergerak, sakit dan mules jadi satu. aku yang ditemani ibuku, bilang bersabar hingga ada tanda lahiran saja, daripada bolak balik lagi lalu ditolak.
Gejala kontraksi kedua
Sambil menunggu aku disuapi makan oleh ibuku, badanku sudah tidak bisa digerakkan. Lalu setelah ada tenaga aku dipapah jalan menuju rumah bidan terdekat. Namun sama saja jawabannya. Akhirnya ibuku minta aku dirawat saja daripada sering mules dan takut lahiran di rumah. Ternyata tetap ditolak, kami di minta kembali pulang ke rumah karena katanya masih lama. Sampai rumah aku sudah tak bisa apa-apa, hanya bisa berbaring saja, mendengarkan yang sedang kutbah jumat, dan dalam hati aku memohon kepada Allah agar aku bisa diizinkan sholat dzuhur. Walau kandunganku sudah cukup besar aku masih bisa melakukan gerakan sholat seperti biasa, walau banyak teman-temanku yang hamil sholat dengan cara duduk. Entah mukjizat atau doaku dikabulkan, aku yang dari pagi hanya bisa berbaring saja ternyata bisa bergerak, aku pun segera mandi lalu sholat dzuhur, tapi kali ini aku sholat dengan cara duduk. Ssetelah Sholat dzuhur aku sakit tak tertahankan dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu menelepon keluargaku akhirnya mereka membawaku ke rumah sakit. Kali ini langsung masuk ruang bersalin, aku diperiksa dan sudah mengeluarkan darah, kata perawat sedikit lagi akan lahiran. Suamiku aku SMS agar izin pulang kerja lebih cepat.Bermalam di kamar Bersalin
Aku dan Suami menginap dikamar bersalin. Disebelah sudah kudengar bayi lahir, kenapa bayiku belum juga keluar padahal gerakannya aktif. Dinginnya kamar bersalin, membuat tubuhku dan suamiku menggigil. Suamiku yang selalu menemani, memegang tanganku hingga aku merasakan cintanya.
Jam 00.00 wib alias tengah malam aku diperiksa kembali oleh perawat ternyata darah yang keluar dari pagi sudah tidak ada lagi, "harusnya sih terus mengalirkan darah" kata perawat yang jaga. Aku yang tidak mengerti hanya diam, paginya aku pun dipindahkan ke kamar pasien. Seperti biasa aku berjalan pagi didampingi suami. Aku berdoa moga malam ini dede bayi lahir. Lalu aku mandi dan sarapan pagi, Jam 11 siang aku sudah masuk ruang bersalin lagi, suamiku selalu berdoa disetiap sholatnya. Ternyata jam 03 sore ketubanku pecah, bahagia sekaligus sedih, karena pembukaanku baru dua, terus dua sampai jam 20.00 wib.
"Suamiku sayang, pembukaanku gak ada perubahan" lirihku.
"Sabar ya sayang, sebentar lagi dede bayi juga lahir"Jawab suamiku menyemangati.
Jam 00.00 wib alias tengah malam aku diperiksa kembali oleh perawat ternyata darah yang keluar dari pagi sudah tidak ada lagi, "harusnya sih terus mengalirkan darah" kata perawat yang jaga. Aku yang tidak mengerti hanya diam, paginya aku pun dipindahkan ke kamar pasien. Seperti biasa aku berjalan pagi didampingi suami. Aku berdoa moga malam ini dede bayi lahir. Lalu aku mandi dan sarapan pagi, Jam 11 siang aku sudah masuk ruang bersalin lagi, suamiku selalu berdoa disetiap sholatnya. Ternyata jam 03 sore ketubanku pecah, bahagia sekaligus sedih, karena pembukaanku baru dua, terus dua sampai jam 20.00 wib.
"Suamiku sayang, pembukaanku gak ada perubahan" lirihku.
"Sabar ya sayang, sebentar lagi dede bayi juga lahir"Jawab suamiku menyemangati.
Sedih, pupus sudah harapanku untuk melahirkan normal. Aku meminta kepada suami cesar saja. Suamiku yang tak tega melihat wajahku yang mulai lemas karena sakit dan mules yang amat sangat. Dari hari jumat, jam satu siang aku sudah masuk rumah sakit hingga sabtu jam delapan malam. 18 jam sudah aku berada dirumah sakit. Waktu seakan bergerak sangat lamban sekali.
Sabtu, jam 11 siang sudah masuk ruang bersalin dengan selang di tangan dan suntik induksi agar ada rangsangan yang kuat untuk melahirkan. Mulas sudah terasa, hanya bisa ditahan dan terus di tahan. Pembukaan belum ada kenaikan, masih saja pembukaan dua. ketuban sudah pecah jam 03 sore. Ya Allah rasanya ingin aku teriak cepat keluar nak, ibu sudah tidak kuat lagi.
Akhirnya suamiku menandatangani operasi cesar jam 9 malam. Ruang operasi sudah siap, dokter anak, dokter bedah, dokter kandungan semua telah dihubungi. Dan ternyata jam 22.00 pembukaan ku naik jadi pembukaan empat, kata bidan jaga mungkin jam 02.00 dini hari baru bisa pembukaan sepuluh. Aku sudah lemas dan bernapas sudah memakai selang. Tak kuat lagi mata ku sudah terpejam, walau sesekali suamiku membangunkanku agar kuat.
"Sayang sabar ya, aku semakin mencintaimu" ucap suamiku.
Aku sudah tak begitu mendengar. Kata-kata semangat dari suamiku hanya bisa ku lihat dari wajahnya. Pikiranku sudah kemana-mana, surat-surat pendek, dzikir yang dari awal aku baca lenyap dalam senyapku.
"Ibu, dzikir Bu, jangan tidur" kata salah seorang bidan jaga.
Suara bidan itu sangat kencang, aku kembali berdzikir dan membaca ayat-ayat al-quran. Lalu aku pegang tangan bidan itu.
"Bu bidan, kapan dokter datang"
"Sabar, dalam perjalanan"
"Sudah gak kuat, kepala bayi sudah sangat berasa"
"Ibu makanya jangan mengejan terus, nanti kepala anaknya benjol" marahnya.
Demi kamu nak, ibu yang hampir pingsan dibilang tidur sama bidan jaga. Ibu yang sudah mulas karena kepalamu hampir keluar, harus menunggu dokter dan menunggu pembukaan sempurna. Sungguh tak terbayang sakitnya. Semua hanya bilang sabar. Akupun mencoba teknik yang dibilang sahabatku bahwa jika melahirkan itu sakit, pikirkan saja enak dan tidak sakit. Sambil bernafas, ditahan lalu mengeluarkan pelan-pelan nafasku, aku berpikir tidak sakit dan mencoba tersenyum agar semua sarafku tidak kaku. Tapi rasanya aku jadi mendadak gila. Semua rasa sakitku semakin sakit dan tak bisa ku tahan atau ku tutupi lagi.
Dokterpun tiba, aku sudah lemas karena pikirku akan cesar maka makan malam aku tidak makan. Mungkin nafsu makanku hilang.
"Dok, aku cesar saja"
"Masa masih muda cesar, malu donk itu siy buat nenek-nenek yang gak kuat ngejan"
Dokter masih saja mengajakku bercanda. Lalu aku benar-benar memegang tangannya, bahwa aku sudah keringat dingin, nafasku sudah terengah-engah, dan mulas tak bisa kutahan yang membuat histeris para bidan yang jaga karena akan membuat kepala anakku benjol dan mulut rahimnya sobek.
"Ya, jangan ngeden bu, tahan. Nanti kalau cesar skripsinya tidak kelar"
"Dok, tolong aku cepat gak nahan" Teriakku kesakitan.
"Sayangkan kuliah empat tahun, belajar kanji yang sulit tapi gagal semua, ayo semangat"
Dokter mengingatkan perjuanganku kuliah sambil hamil. Dan kenapa di titik perjuangan ini aku nyaris menyerah. Bukankah aku juga yang selalu minta untuk lahir normal setiap kali periksa ke dokter kandunganku. Yakin, memang harus bisa dan inilah perjuangan yang amat sangat menentukan.
"Kalau bilang siap, ngeden sekuat tenaga" Intruksi dokter.
"Ya" sambil aku anggukan kepalaku
"Kalau ngeden sambil lihat perut saja ya"
Suamiku disamping kananku, ada tiga bidan yang siap membantu dokter, kakiku diangkat agar dokter bisa melihat dengan jelas posisi bayiku. Entah rasanya dokter menggunting sesuatu dibagian bawah, mungkin ini untuk membantu bayi keluar.
"Aaaaaarggg" Teriakku sekali ngeden. Namun kepala bayi masuk lagi, padahal sudah dokter pegang.
"Bu, yang lama ngedennya ya, yang kuat juga. Ini hanya pembukaan empat, tolong kerja samanya"
Semua diulangi lagi, kukira ngeden pertama tadi sarafku sudah banyak yang putus, ngilu, sakit, memang inilah perjuangan lahiran normal apalagi pembukaan ku tak sempurna. Hanya pembukaan empat. Aku mencoba mengumpulkan tenaga, alat vacum untuk menyedot anakku agar tidak masuk kembali sudah stand by. Para bidan yang bantu begitu siaga, suamiku sepertinya sudah mulai lunglai melihat darahku banyak sekali keluar. Bismillah, Ya Allah aku ingin melahirkan lagi dan lagi beri hamba kekuatan.
"Aaarggg"
Akhirnya aku melahirkan tepat 23.00, dihari kartini dilahirkan secara normal dengan bantuan dokter keluarlah jagoan kecilku ini. Suamiku dan bidan membawa untuk dibersihkan lalu diadzankan. Semua tenagaku hilang, namun mataku tak juga lepas selalu memandang jagoan kecilku yang sudah berada didadaku. Ya Allah benar-benar ciptaan-Mu yang paling sempurna.
Bisa dibayangkan nikmatnya melahirkan secara normal, apalagi pembukaanku hanya pembukaan empat. Walau sakitnya hanya para wanita yang pernah merasakan melahirkan. Tapi melihat wajah bahagia orang-orang tercinta, serta kehadiran si mungil yang lucu tak terasa setiap jarum yang ditusuk-tusukkan untuk menjahit bagian miss. V ku yang sobek parah. Tak perlu pembukaan sempurna atau sepuluh, bagiku pembukaan ini tak membuatku takut untuk berkata aku ingin melahirkan lagi.
Sabtu, jam 11 siang sudah masuk ruang bersalin dengan selang di tangan dan suntik induksi agar ada rangsangan yang kuat untuk melahirkan. Mulas sudah terasa, hanya bisa ditahan dan terus di tahan. Pembukaan belum ada kenaikan, masih saja pembukaan dua. ketuban sudah pecah jam 03 sore. Ya Allah rasanya ingin aku teriak cepat keluar nak, ibu sudah tidak kuat lagi.
Akhirnya suamiku menandatangani operasi cesar jam 9 malam. Ruang operasi sudah siap, dokter anak, dokter bedah, dokter kandungan semua telah dihubungi. Dan ternyata jam 22.00 pembukaan ku naik jadi pembukaan empat, kata bidan jaga mungkin jam 02.00 dini hari baru bisa pembukaan sepuluh. Aku sudah lemas dan bernapas sudah memakai selang. Tak kuat lagi mata ku sudah terpejam, walau sesekali suamiku membangunkanku agar kuat.
"Sayang sabar ya, aku semakin mencintaimu" ucap suamiku.
Aku sudah tak begitu mendengar. Kata-kata semangat dari suamiku hanya bisa ku lihat dari wajahnya. Pikiranku sudah kemana-mana, surat-surat pendek, dzikir yang dari awal aku baca lenyap dalam senyapku.
"Ibu, dzikir Bu, jangan tidur" kata salah seorang bidan jaga.
Suara bidan itu sangat kencang, aku kembali berdzikir dan membaca ayat-ayat al-quran. Lalu aku pegang tangan bidan itu.
"Bu bidan, kapan dokter datang"
"Sabar, dalam perjalanan"
"Sudah gak kuat, kepala bayi sudah sangat berasa"
"Ibu makanya jangan mengejan terus, nanti kepala anaknya benjol" marahnya.
Demi kamu nak, ibu yang hampir pingsan dibilang tidur sama bidan jaga. Ibu yang sudah mulas karena kepalamu hampir keluar, harus menunggu dokter dan menunggu pembukaan sempurna. Sungguh tak terbayang sakitnya. Semua hanya bilang sabar. Akupun mencoba teknik yang dibilang sahabatku bahwa jika melahirkan itu sakit, pikirkan saja enak dan tidak sakit. Sambil bernafas, ditahan lalu mengeluarkan pelan-pelan nafasku, aku berpikir tidak sakit dan mencoba tersenyum agar semua sarafku tidak kaku. Tapi rasanya aku jadi mendadak gila. Semua rasa sakitku semakin sakit dan tak bisa ku tahan atau ku tutupi lagi.
Dokterpun tiba, aku sudah lemas karena pikirku akan cesar maka makan malam aku tidak makan. Mungkin nafsu makanku hilang.
"Dok, aku cesar saja"
"Masa masih muda cesar, malu donk itu siy buat nenek-nenek yang gak kuat ngejan"
Dokter masih saja mengajakku bercanda. Lalu aku benar-benar memegang tangannya, bahwa aku sudah keringat dingin, nafasku sudah terengah-engah, dan mulas tak bisa kutahan yang membuat histeris para bidan yang jaga karena akan membuat kepala anakku benjol dan mulut rahimnya sobek.
"Ya, jangan ngeden bu, tahan. Nanti kalau cesar skripsinya tidak kelar"
"Dok, tolong aku cepat gak nahan" Teriakku kesakitan.
"Sayangkan kuliah empat tahun, belajar kanji yang sulit tapi gagal semua, ayo semangat"
Dokter mengingatkan perjuanganku kuliah sambil hamil. Dan kenapa di titik perjuangan ini aku nyaris menyerah. Bukankah aku juga yang selalu minta untuk lahir normal setiap kali periksa ke dokter kandunganku. Yakin, memang harus bisa dan inilah perjuangan yang amat sangat menentukan.
"Kalau bilang siap, ngeden sekuat tenaga" Intruksi dokter.
"Ya" sambil aku anggukan kepalaku
"Kalau ngeden sambil lihat perut saja ya"
Suamiku disamping kananku, ada tiga bidan yang siap membantu dokter, kakiku diangkat agar dokter bisa melihat dengan jelas posisi bayiku. Entah rasanya dokter menggunting sesuatu dibagian bawah, mungkin ini untuk membantu bayi keluar.
"Aaaaaarggg" Teriakku sekali ngeden. Namun kepala bayi masuk lagi, padahal sudah dokter pegang.
"Bu, yang lama ngedennya ya, yang kuat juga. Ini hanya pembukaan empat, tolong kerja samanya"
Semua diulangi lagi, kukira ngeden pertama tadi sarafku sudah banyak yang putus, ngilu, sakit, memang inilah perjuangan lahiran normal apalagi pembukaan ku tak sempurna. Hanya pembukaan empat. Aku mencoba mengumpulkan tenaga, alat vacum untuk menyedot anakku agar tidak masuk kembali sudah stand by. Para bidan yang bantu begitu siaga, suamiku sepertinya sudah mulai lunglai melihat darahku banyak sekali keluar. Bismillah, Ya Allah aku ingin melahirkan lagi dan lagi beri hamba kekuatan.
"Aaarggg"
Akhirnya aku melahirkan tepat 23.00, dihari kartini dilahirkan secara normal dengan bantuan dokter keluarlah jagoan kecilku ini. Suamiku dan bidan membawa untuk dibersihkan lalu diadzankan. Semua tenagaku hilang, namun mataku tak juga lepas selalu memandang jagoan kecilku yang sudah berada didadaku. Ya Allah benar-benar ciptaan-Mu yang paling sempurna.
Bisa dibayangkan nikmatnya melahirkan secara normal, apalagi pembukaanku hanya pembukaan empat. Walau sakitnya hanya para wanita yang pernah merasakan melahirkan. Tapi melihat wajah bahagia orang-orang tercinta, serta kehadiran si mungil yang lucu tak terasa setiap jarum yang ditusuk-tusukkan untuk menjahit bagian miss. V ku yang sobek parah. Tak perlu pembukaan sempurna atau sepuluh, bagiku pembukaan ini tak membuatku takut untuk berkata aku ingin melahirkan lagi.
Ragaku sangat lelah, senyum keluarga ku yang menanti dipintu kamar ruang bersalin menyambutku gembira dan mengantarkanku ke kamar pasien, sebelum aku terlelap dalam kantuk aku sangat berterima kasih hanya Allah yang maha Besar dan atas kuasa-Nya lah aku jadi seorang ibu. Suamiku tercinta yang selalu setia menemani, keluarga yang ikut cemas dan selalu membantu, teman-teman kampus yang walau sedang UTS dan pusing dengan skripsi namun menyempatkan datang menjenguk, keluarga FLP yang datang satu persatu tak pernah sepi, semua teman kerja, teman kost-kostan serta teman-teman dumay yang ikut mendoakan, kenangan ini akan selalu ku ingat selalu. Namun aku masih ingin melahirkan lagi, karena bagiku melahirkan adalah syurganya para ibu.